Pakar Riset Pertanian Mentahkan Pendapat Suryo Terkait Bakteri Benih Padi
By Admin
nusakini.com - Tiga professor riset, Prof Dr Bambang Nuryanto, Prof Dr Swarno, dan Prof Dr Buang dari Balai Besar Padi (BBP) dan beberapa pakar lainnya yang bergelar doktor dalam keterangan persnya menyatakan bahwa pendapat Ketua Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (Faperta-IPB), Dr. Suryo Wiyono, tidak tepat dan tidak mewakili yang menyebut padi hibrida impor mengandung bakteri burkholderia gulmae, bahkan diungkapkan pula telah menyebar di Pulau Jawa.
Para pakar tersebut beralasan menilai pendapat Suryo Wiyono tidak tepat di antaranya karena penelitian yang dilakukan hanya di dua tempat saja yaitu di Tegal dan di Blitar. “Yang ini jelas tidak mewakili karena yang namanya hibrida kita ada di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Kalimantan, NTB, serta Sulawesi. Jadi kalau dua titik saja, menurut kami tidak bisa disebutkan sudah menyebar di seluruh Pulau Jawa,” paparnya, yang didampingi Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Agung Hendriadi, serta pakar lainnya seperti Ismail Wahab, Satoto, Buang, Sudir dan Ridwan Rachmad dari Balai Besar Padi; serta Antarjo Dikin Kepala Pusat Karantina Tumbuhan Barantan, dan Edi Husen dari Badan Litbang Kementan, Di Kantor Pusat Kementerian Pertanian ,Senin sore (19/12/2016).
Alasan lain yang disampaikan profesor tersebut adalah bahwa impor hibrida itu hanya 800 ton saja. “Kalau konsumsi artinya pemakaiannya per hektar 15 kilo gram, maka kira-kira hanya 50.000 hektar, dan itu terletak di beberapa provinsi dan beberapa pulau. 50 hektar ini, kalau kita bandingkan dengan luas pertanaman padi kita yakni 14 juta hektar, maka hibrida impor ini hanya mengokupasi kira-kira 0,3 persen. Jadi sangat kecil untuk menggiring satu statemen yang menyatakan bahwa ini sudah menyebar,” terangnya.
Terkait keberadaan bakteri burkholderia gulmae ini, ternyata menurut Ismail Wahab dari Balai Besar Padi sudah lama ada di Indonesia, yakni sejak tahun 1987. “Namun hingga kini belum ada kejadian padi kita fuso karena bakteri ini. Kalaupun ada serangan, yang jelas tidak sampai mengganggu produktifitas, apalagi produksi secara nasional,” kata Ismail dengan tegas.
Senada dengan Ismail, Antarjo Dikin dari Badan Karantina Pertanian menyebut bahwa bakteri ini memang sudah ada sejak tahun 1987. “Jadi, bakteri ini masih tergolong Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) A2. Artinya sudah ada di Indonesia namun masih dapat dikendalikan,” ujar Antarjo Dikin.
Terkait dengan importasi benihnya dari luar negeri, lanjut Antarjo Dikin, pihaknya sangat hati-hati sekali sebab bisa mendatangkan penyakit. Oleh karena itu, pihaknya selalu melakukan test kesehatan di Indonesia supaya benih itu bebas dari PPTK. “Jadi benih-benih yang masuk dari luar negeri tentu sudah terdeteksi. Tetapi mengenai kasus ini masih dapat dikendalikan,” tambahnya.
Bahkan berdasarkan hasil uji petik yang dilakukan para pakar tersebut di beberapa tempat di Indonesia bahwa hasil produksi padi hibrida yang ditanam para petani cukup tinggi hasilnya. “Hasilnya sekitar 13-14 ton per hektar sepanjang budidayanya dilakukan dengan baik seperti pemupukan dan pemeliharaan lainnya,” kata Bambang.
Oleh karena itu, pihaknya terus mendorong produksi padi hibrida supaya mengurangi benih impor dari luar negeri. “Tetapi untuk padinya kita upayakan peningkatan penggunaan benih termasuk juga hibrida. Karena kita ketahui bahwa padi hibrida sudah bisa dihasilkan di dalam negeri. Jadi memang padi hibrida ini sudah dapat diproduksi di Indonesia,” tuturnya. (kp/eg)